Selasa, 17 Maret 2015

QUO VADIS KOPI SPESIALTI INDONESIA :


Berikut adalah tulisan saya yang mengulas tentang perkembangan specialty coffee di Indonesia selama 10 tahun terakhir sejak 2002-2012. Tulisan ini disajikan sebagai bahan diskusi terbuka oleh Kelompok Kajian Kopi pada tanggal 14 Desember 2012. Kelompok Kajian Kopi atau KKK adalah komunitas anak-anak muda  penggiat kopi di Jakarta. Tulisan ini masih perlu dikritisi dan dielaborasi secara terbuka. Selamat membaca!! Salam kopi Nusantara 




Menemukenali Local Content dan Transformasi (Struktural)  pada 
Pelembagaan Mutu Kopi (Spesialti)  di Indonesia


Kehadiran standar mutu ‘baru’ spesialti di Indonesia selama 3-4 tahun terakhir sangat berpengaruh terhadap ‘domain quality’ di komoditi kopi yang selama ini dianut secara nasional melalui standar mutu nasional (SNI). Di dalam SNI, persyaratan baku mutu itu secara umum didasarkan pada prinsip-prinsip seperti food security, sehingga muncullah beberapa kriteria mutu seperti batas maksimal logam berat, cemaran total bakteri, cemaran pestisida dll. Dari kriteria tersebut, kita kenal kategori mutu yg bersifat morfologis (bentuk, sizing dll) dan physically (kadar air, dll) yang selama ini dianut  oleh kebanyakan entitas bisnis kopi nasional . Selain prinsip keamanan pangan, definisi atau standarisasi  mutu kopi juga bisa didasarkan pada  penggunaan/user based (misalnya kopi organic untuk detok kopi), manufacturer based (misalnya misalnya kopi robusta untuk kopi instant),  product based (misalnya ekstraksi kafein dari kopi tertentu) dan value based  (misalnya kopi luwak, kopi-kopi pada ritual social tertentu dll). Secara umum, dapat dikatakan bahwa orientasi standarisasi mutu akan tertuju pada kepuasan pelanggan yang bekerja tidak atas system pengendalian mutu yg ‘rigid’ tetapi ia bekerja atas dasar pesanan (!) dan mungkin factor kelestarian lingkungan atau factor lainnya (?).   Bagaimana dengan kopi spesialti di Indonesia?

Kopi spesialti didasarkan pada kriteria morfologis (bentuk, ukuran, kecacatan fisik dll), physical (kadar air dll)  dan kriteria fisiologis (hasil cuping). Dari beberapa level kriteria mutu kopi tersebut, kriteria fisiologis terutama melalui test cup atau cupping menjadi sangat popular di kalangan pelaku bisnis kopi karena cukup menyenangkan dan ‘seksi’. Moda cupping yang menjadi pakem salah satunya adalah dengan cara scoring (scoring test) dengan ‘sedikit porsi’ pada evaluasi yang bersifat deskriptif. Teknik-teknik  cupping ini kemudian banyak dikembangkan di industri/korporasi di dalam rangka pengembangan produk.Apakah yang terjadi di lingkup petani kopi? Fenomena menarik adalah apa yang dilakukan oleh kawan-kawan cupper di Gayo; mereka membentuk cupper team yang berfungsi melakukan pengendalian mutu dan menjadi mediasi standar baku mutu antara petani dan ‘pembeli’. Mediasi mutu ini menjadi strategis karena bisa menjadi awal bagi terjalinnya transaksi yang lebih fair (?).

Kopi spesialti yang mengevaluasi mutu kopi juga didasarkan pada struktur kebahasaan yang cukup rumit karena berangkat dari pengalaman dan memorial kuliner yang berbeda dengan masyarakat Indonesia.  Pendekatan scoring pada test cup satu sisi membantu menemukan kesepakatan nilai numerik, tapi sisi lainnya justru mengurangi daya apresiasi dan daya narasi  tentang cita rasa. Saya pikir standarisasi mutu kopi Indonesia itu harus ditopang oleh struktur kebahasaan yang baik, benar dan berakar dari aspek-aspek sosial , budaya dan sejarah. Sebuah proyek multi gatra yang besar.

Satu hal yang menurut saya perlu juga dirintis adalah menggali local content yang menjadi akses bagi petani untuk ‘sangat konfirm’ dengan mutu kopi mentah yang mereka hasilkan. Salah satu local content itu adalah pengetahuan dasar teknik fermentasi kopi mentah yang dilakukan oleh petani. Keberhasilan proses fermentasi di biji kopi ini ditandai dengan melimpahnya gula-gula pereduksi (seperti glukosa , fruktosa dll) yang dicirikan oleh bebauan yang manis ala buah-buahan. Nah, praktis memang kriteria fisiologis pada kopi mentah sangat dibutuhkan ‘indikator’ yang bisa dengan mudah diketahui dan didefinisikan statusnya oleh para petani kopi. Sebuah usaha keras tentunya.  Isu Local content ini terutama sekali terkait dengan teknik-teknik pengolahan pasca panen kopi mentah, yang selama ini terjadi penyeragaman melalui teknik proses basah (fully washed). Hal mana akan menghasilkan kopi dengan tingkat kesempurnaan clean cup yang tinggi, meski dengan tekstur yang kurang berkarakter (?). Menurut saya, biarlah teknik-teknik yang sudah  berkembang di level petani untuk terus berjalan dengan segala dinamikanya meski dalam skala yang kecil-kecil.

Perihal local content ini juga menjadi penting karena proses penyeragaman varietas dengan teknologi pemuliaan benih (kultur jaringan, GMO dll) justru akan mengikis kekayaaan genetik dan menyebabkan ‘ketidak-unikan’ pada  karakter kopi.  Tujuan penyeragaman itu salah satunya dilakukan untuk mencapai tingkat efisiensi produksi dengan mutu yang kurang lebih serupa dan tahap selanjutnya adalah efisiensi pasar (!) – Sementara dalam jangka panjang, kita ‘tidak pernah’ tahu bagaimana beban atau dampaknya terhadap lingkungan. Sampai di sini memang saya katakan bahwa ‘pelembagaan’ kopi spesialti Indonesia ‘sedikit’ mengangkat  konsep hidup petani kopi dalam menggeluti usaha tanaman kopinya.  Penterjemahan konsep hidup (sistem nilai)  petani kopi ‘terlarut’ dan ‘dilupakan’ oleh intervensi teknologi dan relasi ekonomi yang tidak fair dan ada anasir-anasir rente.  Jargon produktifitas hasil juga memacu petani kopi untuk ‘selalu dan selalu’ menambah input produksi, dan ironisnya input ini ‘dikemas’ sebagai ‘intangible cost’. Sementara (kita tahu) bahwa cara kerja ekonomi rente (penghisapan) ini di ujung-ujungnya adalah mengumbar konsumerisme yang berbasis pada tangible cost!! Bagaimana kita menjelaskan ketidaksimetrisan struktur yang demikian itu??

Selanjutnya tentang konsep hidup ini, kita simak bahwa aspek konservasi hampir jarang untuk digalakkan di usaha kopi. Mainstream ‘produktifitas hasil’ memang mencerabut akar-akar kesemestaan hidup petani kopi menjadi homo economicus yang bekerja pada sebuah struktur relasi subordinat atas dirinya. Prinsip-prinsip kelestarian yang sudah sangat lama ‘melanggam’ dalam praktek-praktek social, ekonomi dan budayanya semakin dilupakan dan hilang. Kesadaran kolektifnya tentang kesemestaan menjadi kesadaran individual yang merusak dan nir empati.

Dalam hal pelembagaan mutu kopi spesialti; total quality management menjadi ‘alat manajerial’ yang selama ini dipakai oleh beberapa pelaku bisnis kopi untuk menghasilkan kopi yang berkualitas dan memenuhi syarat sebagai kopi spesialti. Melalui pendekatan ini, rantai pengadaan bahan baku menjadi unit-unit pengendalian mutu yang bekerja untuk menghasilkan output bersama. Di dalam pendekatan agribisnis pun, moda-moda total quality management itu juga diterapkan dengan tujuan efisiensi dan efektifitas semata. Pertanyaannya, apakah moda-moda pengendalian mutu tersebut sesuai dengan realitas petani kita? Karena secara ‘kontur’ petani kopi kita sebagian tidak bekerja atas/sebagai korporasi (tidak memiliki) namun mereka (sebagian)  bekerja atas kontrak (contract farming) , bekerja mandiri dan bekerja atas ‘value’ (petani sub sisten, koperasi petani dll). Saya berpikir bahwa, pelembagaan mutu kopi spesialti (esp ke tingkat petani )  seharusnya juga memasukkan aspek transformasi struktural di level social ekonomi petani sendiri. Tranformasi structural di sini antara lain mencakup aspek-aspek kesetaraan posisi tawar, emansipasi, dan kesempatan perubahan yang sama. Dalam konteks ini, sebenarnya pendekatan supply chain management (seharusnya) ada dalam sebuah landskap pengembangan pasar local (local market) yang sudah eksis sebelumnya. Bukan untuk memperkokoh struktur pasar yang sudah mapan dan sangat ekspansif!

Sedramatis itukah?  Jawabannya mungkin tak serta merta hadir kini – namun data empiris mutakhir  menunjukkan kepada saya bahwa saat ini sedang berlangsung pacuan teknokrasi benih (terutama pangan) yang ditopang oleh jargon produktifitas hasil dan konsumerisme yang melupakan!! Sebuah food circuit yang by designable.  Apakah masa depan akan kita gapai dengan ‘kelupaan(kah)’?

Salam ngopi


14 Desember 2012

Uji S
#seri diskusi Kelompok Kajian Kopi, Coffee War

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Home Brewer

home brewer... Siapa takut? Ada pertanyaan, apakah dengan mempelajari citarasa kopi maka seseorang akan makin dijauhkan dengan pasan...