Berikut adalah tulisan saya yang mengulas tentang perkembangan specialty coffee di Indonesia selama 10 tahun terakhir sejak 2002-2012. Tulisan ini disajikan sebagai bahan diskusi terbuka oleh Kelompok Kajian Kopi pada tanggal 14 Desember 2012. Kelompok Kajian Kopi atau KKK adalah komunitas anak-anak muda penggiat kopi di Jakarta. Tulisan ini masih perlu dikritisi dan dielaborasi secara terbuka. Selamat membaca!! Salam kopi Nusantara
Menemukenali Local Content dan Transformasi (Struktural) pada
Pelembagaan Mutu Kopi (Spesialti) di Indonesia
Kehadiran standar mutu ‘baru’
spesialti di Indonesia selama 3-4 tahun terakhir sangat berpengaruh terhadap
‘domain quality’ di komoditi kopi yang selama ini dianut secara nasional
melalui standar mutu nasional (SNI). Di dalam SNI, persyaratan baku mutu itu secara umum didasarkan
pada prinsip-prinsip seperti food security, sehingga muncullah beberapa kriteria
mutu seperti batas maksimal logam berat, cemaran total bakteri, cemaran
pestisida dll. Dari kriteria tersebut, kita kenal kategori mutu yg bersifat
morfologis (bentuk, sizing dll) dan physically (kadar air, dll) yang selama ini
dianut oleh kebanyakan entitas bisnis
kopi nasional . Selain prinsip keamanan pangan, definisi atau standarisasi mutu kopi juga bisa didasarkan pada penggunaan/user based (misalnya kopi organic
untuk detok kopi), manufacturer based (misalnya misalnya kopi robusta untuk
kopi instant), product based (misalnya
ekstraksi kafein dari kopi tertentu) dan value based (misalnya kopi luwak, kopi-kopi pada ritual
social tertentu dll). Secara umum, dapat dikatakan bahwa orientasi standarisasi
mutu akan tertuju pada kepuasan pelanggan yang bekerja tidak atas system
pengendalian mutu yg ‘rigid’ tetapi ia bekerja atas dasar pesanan (!) dan
mungkin factor kelestarian lingkungan atau factor lainnya (?). Bagaimana dengan kopi spesialti di Indonesia?
Kopi spesialti didasarkan pada kriteria
morfologis (bentuk, ukuran, kecacatan fisik dll), physical (kadar air dll) dan kriteria fisiologis (hasil cuping). Dari
beberapa level kriteria mutu kopi tersebut, kriteria fisiologis terutama
melalui test cup atau cupping menjadi sangat popular di kalangan pelaku bisnis
kopi karena cukup menyenangkan dan ‘seksi’. Moda cupping yang menjadi pakem salah satunya adalah dengan cara scoring
(scoring test) dengan ‘sedikit porsi’ pada evaluasi yang bersifat deskriptif. Teknik-teknik cupping ini kemudian banyak dikembangkan di
industri/korporasi di dalam rangka pengembangan produk.Apakah yang terjadi di
lingkup petani kopi? Fenomena menarik adalah apa yang dilakukan oleh
kawan-kawan cupper di Gayo; mereka
membentuk cupper team yang berfungsi melakukan pengendalian mutu dan menjadi mediasi
standar baku
mutu antara petani dan ‘pembeli’. Mediasi
mutu ini menjadi strategis karena bisa menjadi awal bagi terjalinnya transaksi
yang lebih fair (?).
Kopi spesialti yang mengevaluasi
mutu kopi juga didasarkan pada struktur
kebahasaan yang cukup rumit karena berangkat dari pengalaman dan memorial
kuliner yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Pendekatan scoring pada test cup satu sisi membantu menemukan kesepakatan nilai numerik,
tapi sisi lainnya justru mengurangi daya apresiasi dan daya narasi tentang cita rasa. Saya pikir standarisasi
mutu kopi Indonesia
itu harus ditopang oleh struktur kebahasaan yang baik, benar dan berakar dari
aspek-aspek sosial , budaya dan sejarah. Sebuah proyek multi gatra yang besar.
Satu hal yang menurut saya perlu
juga dirintis adalah menggali local content yang menjadi akses
bagi petani untuk ‘sangat konfirm’ dengan mutu kopi mentah yang mereka
hasilkan. Salah satu local content itu adalah pengetahuan dasar teknik
fermentasi kopi mentah yang dilakukan oleh petani. Keberhasilan proses
fermentasi di biji kopi ini ditandai dengan melimpahnya gula-gula pereduksi
(seperti glukosa , fruktosa dll) yang dicirikan oleh bebauan yang manis ala
buah-buahan. Nah, praktis memang kriteria fisiologis pada kopi mentah sangat
dibutuhkan ‘indikator’ yang bisa dengan mudah diketahui dan didefinisikan
statusnya oleh para petani kopi. Sebuah usaha keras tentunya. Isu Local content ini terutama sekali
terkait dengan teknik-teknik pengolahan pasca panen kopi mentah, yang selama
ini terjadi penyeragaman melalui teknik proses basah (fully washed). Hal mana akan menghasilkan kopi dengan tingkat
kesempurnaan clean cup yang tinggi, meski dengan tekstur yang kurang
berkarakter (?). Menurut saya, biarlah teknik-teknik yang sudah berkembang di level petani untuk terus berjalan
dengan segala dinamikanya meski dalam skala yang kecil-kecil.
Perihal local content ini juga menjadi penting karena proses penyeragaman
varietas dengan teknologi pemuliaan benih (kultur jaringan, GMO dll) justru
akan mengikis kekayaaan genetik dan menyebabkan ‘ketidak-unikan’ pada karakter kopi. Tujuan penyeragaman itu salah satunya
dilakukan untuk mencapai tingkat efisiensi produksi dengan mutu yang kurang
lebih serupa dan tahap selanjutnya adalah efisiensi pasar (!) – Sementara dalam
jangka panjang, kita ‘tidak pernah’ tahu bagaimana beban atau dampaknya
terhadap lingkungan. Sampai di sini memang saya katakan bahwa ‘pelembagaan’
kopi spesialti Indonesia ‘sedikit’ mengangkat konsep
hidup petani kopi dalam menggeluti usaha tanaman kopinya. Penterjemahan konsep hidup (sistem
nilai) petani kopi ‘terlarut’ dan
‘dilupakan’ oleh intervensi teknologi dan relasi ekonomi yang tidak fair dan
ada anasir-anasir rente. Jargon
produktifitas hasil juga memacu petani kopi untuk ‘selalu dan selalu’ menambah
input produksi, dan ironisnya input ini ‘dikemas’ sebagai ‘intangible cost’. Sementara (kita tahu) bahwa cara kerja ekonomi
rente (penghisapan) ini di ujung-ujungnya adalah mengumbar konsumerisme yang
berbasis pada tangible cost!!
Bagaimana kita menjelaskan ketidaksimetrisan struktur yang demikian itu??
Selanjutnya tentang konsep hidup
ini, kita simak bahwa aspek konservasi
hampir jarang untuk digalakkan di usaha kopi. Mainstream ‘produktifitas hasil’
memang mencerabut akar-akar kesemestaan hidup petani kopi menjadi homo
economicus yang bekerja pada sebuah struktur relasi subordinat atas dirinya.
Prinsip-prinsip kelestarian yang sudah sangat lama ‘melanggam’ dalam
praktek-praktek social, ekonomi dan budayanya semakin dilupakan dan hilang. Kesadaran
kolektifnya tentang kesemestaan menjadi kesadaran individual yang merusak dan
nir empati.
Dalam hal pelembagaan mutu kopi spesialti; total quality management menjadi ‘alat manajerial’ yang selama ini
dipakai oleh beberapa pelaku bisnis kopi untuk menghasilkan kopi yang
berkualitas dan memenuhi syarat sebagai kopi spesialti. Melalui pendekatan ini,
rantai pengadaan bahan baku
menjadi unit-unit pengendalian mutu yang bekerja untuk menghasilkan output
bersama. Di dalam pendekatan agribisnis pun, moda-moda total quality management itu juga diterapkan dengan tujuan
efisiensi dan efektifitas semata. Pertanyaannya, apakah moda-moda pengendalian
mutu tersebut sesuai dengan realitas petani kita? Karena secara ‘kontur’ petani
kopi kita sebagian tidak bekerja
atas/sebagai korporasi (tidak memiliki) namun mereka (sebagian) bekerja
atas kontrak (contract farming) ,
bekerja mandiri dan bekerja atas ‘value’ (petani sub sisten, koperasi
petani dll). Saya berpikir bahwa, pelembagaan mutu kopi spesialti (esp ke
tingkat petani ) seharusnya juga
memasukkan aspek transformasi struktural
di level social ekonomi petani sendiri. Tranformasi structural di sini antara
lain mencakup aspek-aspek kesetaraan posisi tawar, emansipasi, dan kesempatan
perubahan yang sama. Dalam konteks ini, sebenarnya pendekatan supply chain management (seharusnya) ada
dalam sebuah landskap pengembangan pasar local (local market) yang sudah eksis
sebelumnya. Bukan untuk memperkokoh struktur pasar yang sudah mapan dan sangat
ekspansif!
Sedramatis itukah? Jawabannya mungkin tak serta merta hadir kini
– namun data empiris mutakhir
menunjukkan kepada saya bahwa saat ini sedang berlangsung pacuan
teknokrasi benih (terutama pangan) yang ditopang oleh jargon produktifitas
hasil dan konsumerisme yang melupakan!! Sebuah food circuit yang by designable.
Apakah masa depan akan kita gapai dengan ‘kelupaan(kah)’?
Salam ngopi
14 Desember 2012
Uji S
#seri diskusi Kelompok Kajian Kopi, Coffee War
Tidak ada komentar:
Posting Komentar